Wong Palembang, Wong Kito Galo
Dari bahasa mereka menyebut diri mereka sendiri, Wong Palembang (dibaca Wong Plembang), tiga budaya akan langsung menyertainya: Melayu, Jawa dan Cina. Kata Wong yang berarti orang jelas sebuah kata berasal dari bahasa Jawa. Hal ini ditengarai bila para pemimpin terakhir orang Palembang sebelum kolonialisme datang terbingkai dalam sistem kekuasaan feodalisme Kesultanan Palembang Darussalam yang merupakan manusia-manusia dari tanah Jawa. Adapun kata Palembang yang langsung merujuk nama tempat memiliki sejarah yang diambil berdasarkan kronik Tiongkok, yakni kata Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua yang merujuk pada Palembang. Sedangkan gaya bahasa ketika menyebutkannya sendiri: �Wong Plembang�, irama dan logat Melayu yang berayun akan langsung kentara. Sementara orang Palembang menyebut diri mereka sebagai Wong Palembang, di tempat lain, orang-orang yang berada di luar lingkaran Wong Palembang lebih mengenal mereka atau memang lebih suka menyebut diri mereka sebagai Wong Kito atau bahkan Wong Kito Galo.
Sebutan �Wong Kito� bagi orang Palembang menjadi lebih lekat didengar secara nonlokalitas sejak tim sepak bola kebanggaan Palembang, Sriwijaya FC berjaya memenangkan berbagai pertandingan tingkat nasional. Meski julukan resmi Sriwijaya FC adalah Laskar Sriwijaya, namun di media dan di kalangan penggemar fanatiknya justru lumrah disebut Laskar Wong Kito. Bahkan embel-embel julukan ini ditambah lagi menjadi Laskar Wong Kito Galo. Jika dialihbahasakan menjadi bahasa Indonesia, maksud kata Wong Kito Galo itu adalah �orang kita semua�. Maknanya, masyarakat Palembang � Sumatera Selatan, di mana pun berada adalah satu saudara. Saudaranya tidak sebatas sesama orang Palembang saja, namun bersahabat dengan orang lain juga di luar Palembang. Namun akibat seringnya kata ini dipopulerkan oleh media seiring dengan perkembangan Palembang yang menggeliat karena Sriwijaya FC maupun perhelatan Sea Games XXVI tahun 2011 lalu, kata Wong Kito alih-alih menjadi identik untuk menunjukkan identitas seseorang sebagai orang dari Palembang.
Jika banyak pendapat mengatakan bila Wong Kito secara langsung dinyatakan sebagai Wong Palembang, namun ternyata orang Palembang �asli� sendiri justru tidak bisa menerimanya.
Ditulis oleh J.C. Van Sevenhoven (1971), priyayi berarti keturunan raja-raja, sultan, atau kaum ningrat. Kedudukan itu dapat diperoleh karena kelahiran atau atas perkenan dari raja atau sultan (sebagaimana dikutip dalam Santun dkk, 2010:70-72). Golongan priyayi dibedakan menjadi tiga golongan yaitu Pangeran, Raden (R) � Raden Ayu (RA) dan Masagus (Mgs) � Masayu (Msy). Golongan rakyat juga memiliki gelar lain, yakni Kiai Mas atau Kemas (Kms) � Nyimas (Nym), Kiai Bagus atau Kiagus (Kgs) � Nyayu (Nyayu) dan orang-orang yang tidak memiliki gelar atau rakyat jelata. Rakyat jelata dibagi-bagi lagi atas pertama, orang-orang miji yang tidak dipungut pajak mereka memiliki kewajiban kerja halus dengan para raja, pangeran atau raden atau bisa diminta tenaga kasarnya dalam keadaan peperangan. Kedua, orang-orang senan yang kedudukannya lebih rendah dari seorang miji, namun mereka tidak dapat diperkerjakan oleh siapa pun kecuali untuk pekerjaan sultan. Syarat pertama ini, meski sekarang beberapa gelar tersebut masih banyak kita jumpai di kalangan orang Palembang, namun tidak sedikit dari mereka yang menghapus gelar itu sendiri.
Kedua, disebut orang Palembang jika ia tinggal di Kota Palembang. Syarat keaslian inilah yang kemudian banyak menimbulkan persinggungan kecil bila orang Palembang yang berada di luar, misalnya di tanah rantau ketika mendengar pengakuan orang yang sesungguhnya tidak berasal dari Kota Palembang tapi juga mengaku sebagai orang Palembang. Sebuah fakta bahwa orang di luar Kota Palembang namun masih di kawasan Propinsi Sumatera Selatan akan menyebut diri mereka sebagai Wong Palembang. Keleluasaan untuk menyebut diri sebagai orang Palembang semakin disadari karena keaslian itu sendiri mulai dipertanyakan saat ini. Namun seyogyanya jika mereka ikut menambahkan bahwa mereka adalah Wong Palembang Kabupaten, dan hal inipun berdampak pada orang Palembang yang ikut menambahkan keterangan bahwa ia adalah Wong Palembang Kota.
Mengikuti perkembangan otonomi daerah, Sumatera Selatan sendiri kini terdiri dari 11 kabupaten, yakni Banyuasin, Lahat, Muara Enim, Musi Banyuasin (MUBA), Musi Rawas (MURA), Ogan Ilir (OI), Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU), Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), dan Lintang Empat Lawang, dan juga 4 kota, yakni Palembang, Prabumulih, Pagar Alam, dan Lubuk Linggau. Jelas bahwa Palembang yang merupakan ibukota propinsi Sumatera Selatan hanya merupakan satu kota yang ada di Sumatera Selatan sendiri. Palembang hanya suatu wilayah yang memiliki luas 400,61 km� dari keseluruhan luas Sumatera Selatan yang mencapai 87.017 km�.
Pembedaan sebagai identitas diri ini sesungguhnya hal wajar karena para penduduk asli Sumatera Selatan ini memang terdiri dari beberapa suku yang masing-masing mempunyai bahasa dan dialek sendiri. Suku-suku tersebut antara lain suku Palembang, Ogan, Komering, Semendo, Pasemah, Gumay, Lintang, Musi Rawas, Meranjat, Kayuagung, Ranau, Kisam, dan lain-lain. Namun memang di lapangan semua suku ini hidup berdampingan dan saling membaur dengan suku-suku pendatang termasuk dengan orang asing, bahkan banyak terjadi perkawinan antarsuku sehingga hal ini ikut menjadi syarat ketiga yang terpenuhi. Selain itu, suku-suku ini memiliki seni dan budaya sendiri yang saling berbeda atau hampir bersamaan. Meski tiap kelompok etnik memiliki corak khas dalam kebudayaan dan struktur bahasa sendiri, namun tetap merupakan kesatuan yang sulit dipisahkan satu sama lain dalam lingkungan hukum adat di daerah Sumatera Selatan. Mereka saling mempengaruhi sehingga unsur kebudayaan yang satu terdapat juga pada kebudayaan suku lainnya. Hal ini disebabkan adanya proses difusi, akulturasi dan adaptasi. Kesatuan dan keseragaman kebudayaan dalam suku bangsa disadari sendiri oleh para warganya.
Apa yang dinyatakan oleh Kasubag Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang Habson berikut ini tentang Wong Kito menjadi jawaban dari kesimpangsiuran makna dari ungkapan Wong Kito itu sendiri.
Sebuah komunitas blogger Palembang yang bernama Wongkito dan beralamat di dunia maya di http://wongkito.net menerapkan aturan main dalam mencari anggotanya yang sesungguhnya juga mempertahankan identitas lokalitas mereka namun sekaligus mematahkan aspek genealogis bila yang bisa disebut orang Palembang harus berasal dari keturunan asli orang Palembang. Aturan main Wongkito berikut ini menjadi pedoman untuk mengklasifikasikan siapa yang bisa disebut orang Palembang dan berhak bergabung dalam komunitas sehingga pantas dimasukkan sebagai �Wongkito�.
Peraturan umum yang diizinkan masuk komunitas Wongkito:
Daftar Pustaka:
Santun, Dedi Irawanto M dkk, 2010, Iliran dan Uluan, Dikotomi dan Dinamika Dalam Sejarah Kultural Palembang, Yogyakarta: Eja Publisher.
(SFC Memenangkan Final Copa 2007) |
Jika banyak pendapat mengatakan bila Wong Kito secara langsung dinyatakan sebagai Wong Palembang, namun ternyata orang Palembang �asli� sendiri justru tidak bisa menerimanya.
Itu awalnya hanya istilah celotehan yang kemudian menjadi populer. Seperti Syahrini yang mengatakan istilah �Sesuatu�. (RM Ali Hanafiah, wawancara pribadi, 22 Februari 2012).
O, bukan! Wong Kito bukan sebutan untuk orang Palembang. Orang Palembang sebutannya cukup Wong Plembang saja. (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, wawancara pribadi, 24 Februari 2012).Pernyataan RM Ali Hanafiah selaku budayawan Palembang yang sekaligus sebagai orang keturunan Palembang asli itu senada dengan penjelasan di awal. Begitu pun jawaban dari Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang pada Festival Keraton Nusantara ke-7 di Palembang, 26-28 November 2011 lalu diangkat menjadi Ketua Yayasan Kesultanan Nusantara dengan tegas menyatakan bahwa sebutan untuk orang Palembang adalah Wong Palembang bukan Wong Kito. Untuk pendefinisian siapa sesungguhnya Wong Palembang, RM Ali Hanafiah yang juga menjabat sebagai Kepala UPTD Musium Sultan Mahmud Badaruddin II itu menyatakan bahwa ada tiga hal yang bisa membuat seseorang itu bisa disebut sebagai orang Palembang, yakni dari garis keturunan, domisili, dan perkawinan.
Kalo nak disebut Wong Palembang, itu ado tigo syarat: 1. Asli, artinyo anak keturunan sultan-sultan dan yang mempunyai gelar. 2. Tinggal di Palembang, artinyo lahir, besak, mencari, dan mati di Palembang. Dengan kata lain, beranak-pinak di Palembang. 3. Perkawinan. (RM Ali Hanafiah, wawancara pribadi, 22 Februari 2012).Seperti halnya kebudayaan Jawa, kebudayaan Palembang juga mengenal adanya gelar bagi keturunan masyarakat golongan bangsawannya. Hal ini sebagai bagian dari sejarah Kesultanan Palembang Darussalam, orang Palembang asli pun telah memiliki kesadaran kelas, akibat pengaruh budaya Jawa yang disesuaikan dengan budaya lokal Palembang. Kesadaran kelas tersebut dengan jelas dapat dilihat dalam identitas pemakaian gelar di kalangan lingkungan kraton. Identitas gelar tidak saja berlaku sebagai pembeda antara kelas bangsawan, priyayi, dengan kelas rakyat, namun juga di kalangan priyayi itu sendiri.
(Gadis Palembang) |
Kedua, disebut orang Palembang jika ia tinggal di Kota Palembang. Syarat keaslian inilah yang kemudian banyak menimbulkan persinggungan kecil bila orang Palembang yang berada di luar, misalnya di tanah rantau ketika mendengar pengakuan orang yang sesungguhnya tidak berasal dari Kota Palembang tapi juga mengaku sebagai orang Palembang. Sebuah fakta bahwa orang di luar Kota Palembang namun masih di kawasan Propinsi Sumatera Selatan akan menyebut diri mereka sebagai Wong Palembang. Keleluasaan untuk menyebut diri sebagai orang Palembang semakin disadari karena keaslian itu sendiri mulai dipertanyakan saat ini. Namun seyogyanya jika mereka ikut menambahkan bahwa mereka adalah Wong Palembang Kabupaten, dan hal inipun berdampak pada orang Palembang yang ikut menambahkan keterangan bahwa ia adalah Wong Palembang Kota.
(Peta Sumatera Selatan) |
Pembedaan sebagai identitas diri ini sesungguhnya hal wajar karena para penduduk asli Sumatera Selatan ini memang terdiri dari beberapa suku yang masing-masing mempunyai bahasa dan dialek sendiri. Suku-suku tersebut antara lain suku Palembang, Ogan, Komering, Semendo, Pasemah, Gumay, Lintang, Musi Rawas, Meranjat, Kayuagung, Ranau, Kisam, dan lain-lain. Namun memang di lapangan semua suku ini hidup berdampingan dan saling membaur dengan suku-suku pendatang termasuk dengan orang asing, bahkan banyak terjadi perkawinan antarsuku sehingga hal ini ikut menjadi syarat ketiga yang terpenuhi. Selain itu, suku-suku ini memiliki seni dan budaya sendiri yang saling berbeda atau hampir bersamaan. Meski tiap kelompok etnik memiliki corak khas dalam kebudayaan dan struktur bahasa sendiri, namun tetap merupakan kesatuan yang sulit dipisahkan satu sama lain dalam lingkungan hukum adat di daerah Sumatera Selatan. Mereka saling mempengaruhi sehingga unsur kebudayaan yang satu terdapat juga pada kebudayaan suku lainnya. Hal ini disebabkan adanya proses difusi, akulturasi dan adaptasi. Kesatuan dan keseragaman kebudayaan dalam suku bangsa disadari sendiri oleh para warganya.
Apa yang dinyatakan oleh Kasubag Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang Habson berikut ini tentang Wong Kito menjadi jawaban dari kesimpangsiuran makna dari ungkapan Wong Kito itu sendiri.
Bagi saya, ungkapan Wong Kito Galo lebih mengarah pada sikap yang menunjukkan adanya rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan keharmonisan. Istilah ini juga memperkenalkan kerumunan atau komunitas yang juga menjadi bagian kekitaan. Dengan adanya kerumunan ini, Anda akan merasa nyaman dan tenang karena mereka berada di pihak Anda. Mereka tidak akan memberikan masalah bagi Anda, justru akan mendukung Anda. (Habson, wawancara pribadi, 23 Februari 2012).Orang Palembang senang mendukung orang-orang yang pantas untuk didukung. Keberpihakan secara terbuka menjadi pilihan sikap umum yang diambil ketimbang memilih wilayah abu-abu di antara dua kubu atau dua pilihan. Dengan kata lain penggunaan istilah Wong Kito itu memiliki arti sebagai pihak kita atau keluarga kita. Boleh jadi, ia adalah orang yang memiliki keterikatan maupun keterkaitan dengan Palembang namun belum tentu menunjukkan sebagai orang Palembang asli jika tidak ditelusuri lebih lanjut. Artinya, siapapun bisa menjadi Wong Kito asal ia masih ada kaitannya dengan Sumatera Selatan. Namun patut digarisbawahi, suka atau tidak suka aspek esensialis kadang masih diperlukan sebagai pembeda antara orang yang satu dengan yang lain. Maka untuk dikatakan sebagai Wong Palembang, kiranya tiga syarat di atas perlu dicermati.
(Banner Wongkito) |
Peraturan umum yang diizinkan masuk komunitas Wongkito:
- Punya blog dengan umur blog minimal 1 bulan.
- Orang Palembang, boleh lahir di Palembang atau berdarah Palembang, atau pernah tinggal di Palembang.
- Bangga dan cinta Palembang.
- Mau mengikuti kegiatan yang diadakan Wongkito dan berpartisipasi dalam mewujudkan visi dan misi Wongkito.
Jadi intinyo Wong Palembang itu adalah orang yang hidup di Palembang yang jugo orang yang cinta dengan Palembang. (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, wawancara pribadi, 24 Februari 2012).So, kamu punya dua syarat mudah itu? Boleh jadi kamu adalah Wong Palembang. Kalaupun tidak, tak jadi masalah. Kamu tetap bisa menjadi Wong Kito Galo, karena kita adalah keluarga. Dipastikan orang Palembang sangat suka menerima persahabatan, terlebih dari orang-orang setanah air yang mempunyai niat tulus untuk menjalin hubungan baik. Boleh jadi cara bicaranya terkesan kasar karena memang begitulah logatnya, namun percayalah Wong Palembang itu baik hatinya. Tak kenal maka tak sayang. Makanya kenalan dulu dong, ntar kamu malah sayang dan terpesona lho sama Wong Palembang. Hee!
Daftar Pustaka:
Santun, Dedi Irawanto M dkk, 2010, Iliran dan Uluan, Dikotomi dan Dinamika Dalam Sejarah Kultural Palembang, Yogyakarta: Eja Publisher.
0 Response to "Wong Palembang, Wong Kito Galo"
Post a Comment