Media Sosial, Realitas, dan Anak
Media Sosial di sekitar kita
Kurang lebih sudah sekitar dua puluh tahun hidup kita dikelilingi media sosial. Utamanya pada aplikasi ngobrol dan pertemanan, kita jadi bisa banyak terhubung dengan satu sama lain. Kita bisa bertukar kabar dengan orang-orang yang kita cari ataupun kita rindukan, bahkan ada juga yang menemukan jodohnya di media sosial walaupun tidak jarang juga, konflik terjadi di tempat yang sama, iri, cemburu, ataupun salah paham.
Media sosial dengan dinamikanya yang begitu kompleks, pertukaran komunikasi intens dengan minim kesempatan untuk menangkap rasa, gerak tubuh dan gestur wajah lawan bicara.
Belum lagi data diri juga biografi kita yang lebih terekspos kini, jangan lupa foto-foto lama dengan angle yang kadang 'ngga banget' lalu ditag oleh teman-teman, mau untag tapi udah beredar, mau komplain kira-kira dianggap baper nggak ya?
Evolusi kehidupan masa kini menantang kita untuk mempertanyakan lagi konsep 'respect', rasa menghormati serta menghargai. Dan di wahana yang belum ada lembaga kontrol yang jelas ini kita mengolah lagi ide tentang kepatutan, kepantasan, sebelum ada keputusan boleh atau tidak boleh ada core value yang perlu dimengerti bersama antar manusia.
Hal ini juga bisa jadi bahan introspeksi orang tua juga guru atau institusi pendidikan, ketika menampilkan anak di media sosial apakah sudah sesuai persetujuan si anak, bila memang anak setuju apakah ia sudah cukup matang untuk mengetahui bahwa gambarnya beredar di dunia maya, tentu tak ada itikad buruk dari orang tua yang berbagi kisah namun rasanya kompas moral penting untuk mengukur ini, pertanyaan yang bisa kita hadirkan sebelum posting mungkin diantaranya adalah :
- Untuk ke diri sendiri, sharing untuk apa dan siapa..
Cenderungnya mungkin bukan untuk kepentingan anak, mungkin memang tentang orang tua, bagaimana orang tua merefleksikan diri melalui pantulan sang anak.
- bila bukan akun personal, misalnya pada akun sekolah yang membagikan cerita tentang anak didiknya di media sosial maka hendaknya dalam itikad untuk merefleksikan nilai-nilai yang dipegang oleh institusi tersebut. Ngga sekedar aksesori untuk ditampilkan..
- dimana anak ditempatkan, sebagai bahan refleksi mungkin masih wajar, area ini butuh kehati-hatian extra untuk tidak tergelincir menjadikan anak sebagai komoditas
- mencari titik temu agar keinginan berbagi cerita baik dan manfaat pada orang banyak tidak merampas waktu bermainnya, kebutuhannya untuk mendapatkan orang tua /guru yang hadir penuh, serta kebutuhan masa kecilnya.
Rasa respect ini juga menantang kompas moral kita akan privasi, terbuka jalan yang lebih lebar kini untuk kita 'stalking' latar belakang orang lain, seberapa dalam kita mau mengarahkan diri kita untuk mengulik kehidupan orang lain juga menantang rasa kepantasan dalam diri apakah patut untuk kita mengulik privasi orang lain.
Kita hidup dalam wacana budaya timur, cara kita berperilaku di media sosial mempertanyakan batas antara peduli dengan menerobos batas pribadi.
Tanggung jawab moral ini ternyata juga ngga hanya bagi kita yang berbagi tapi juga pada audience yang menyaksikan dan menerima informasi. Kita bertanggung jawab untuk menjadi pribadi yang jujur dalam berbagi.
Tentunya tiap orang orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri untuk mengelola informasi yang diterima, keduanya perlu saling menjaga.
Teknologi vs Realita
Keberadaan teknologi begitu mewarnai hidup kita. Sejak seorang ibu hamil sudah banyak aplikasi yang konon dapat membantu untuk menstimulasi janin, ketika lahir banyak gadget yang juga diperuntukkan atas nama stimulasi, ada juga yang berfungsi untuk penenang, memudahkan bayi tidur dengan fitur white noise, belum lagi bouncer yang kini makin canggih kemampuannya.
Semakin anak besar semakin banyak penyedia jasa, ada teknologi yang dapat menampilkan video untuk ditonton anak, untuk 'belajar' dan yang juga populer adalah untuk membuatnya 'anteng' sementara waktu.
Beranjak remaja juga kemudian tersedia platform dimana anak dapat menampilkan personanya. Media sosial dengan beragam yang ditawarkan, beragam profil. Hingga kemudian kita dewasa banyak sekali fitur fitur yang kita rasa butuh untuk mengisi diri ini.
Dunia hiburan begitu banyak tersimpan dalam teknologi ini, film seru dengan episode panjang bebulan-bulan (bahkan tahun) yang memunculkan berbagai perasaan bagi penontonnya, film berbagai genre sesuai dengan kecenderungan minat kita.
Pertanyaannya, bagaimana kesempatan kita mengenal realita jadi terkompensasi lewat semua yang disajikan teknologi?
Bagaimana kesempatan kita belajar menjadi manusia seutuhnya dapat berjalan maksimal dalam potensi belajar yang dikikis oleh banyaknya penawaran akan 'kemudahan'?
Ketika anak lahir ke dunia, ia beradaptasi untuk membiasakan dirinya agar dapat menerima dunia ini sebagai tempatnya tinggal. Anak juga perlu belajar menguasai tubuhnya agar ia dapat bergerak, maju, berdiri, hingga berlari agar dapat menjalankan perannya di dunia.
Anak perlu merasakan sensasi dari tiap-tiap rasa yang hadir dalam perasaannya, untuk kelak dapat mengelolanya sesuai kebutuhan.
Anak perlu dihadirkan kebenaran hakiki agar pada waktunya kelak ia dapat jernih dan terbuka pada berbagai sudut pandang berpikir. Jernih melihat yang baik dan benar
Bagian menarik dari ide ini adalah tentang bagaimana pentingnya manusia belajar dari realita, dan berbagai filosofi pendidikan setuju akan hal ini.. Namun, bagaimana pelaksanaannya..?
Ketika kesempatan belajar hadir secara artifisial, bagaimana pengalaman alami dapat tumbuh ? Ketika 'tugas' belajar tergantikan dengan teknologi maka semakin banyak kapasitas yang mestinya tumbuh justru menjadi redup. Ketika semua penjelasan sudah diberikan mesin pencari, ensiklopedia hingga video ilustrasi, dimana temuan temuan baru dapat tercipta, apa yang akan jadi bahan bakar agar rasa ingin tahu tetap menyala?
Realita adanya bukan hanya di nalar, tapi juga di rasa. Ketika anak dibacakan cerita/dongeng maka imajinasi terpantik, cara berpikir di luar kepala menghubungkannya dengan pengalaman. Bila tugas berimajinasi sudah banyak dikerjakan oleh video ataupun film, atau gambar yang mendekati sempurna maka seberapa porsi yang bisa didapatkan untuk memunculkan sendiri rasa dalam batinnya.
Ketika segala sesuatunya dinyamankan, dimunculkan, diatur oleh teknologi, maka bagaimana kita dapat melatih kepekaan sebagai manusia?
Sudut ini menantang kembali konsep realita dalam bayangan kita.
Realita dapat intens kita rasakan ketika memandangi bulan purnama, bukan sekedar dari foto atau video, namun ketika duduk menyaksikannya, ada beragam perasaan yang hadir, ada takzim yang muncul, ada rasa hormat pada alam, ada rasa kecil sebagai manusia, namun juga syukur teramat sangat.
Realitas lebih dekat ketika anak mendengar lagu ambilkan bulan, lebih dekat dari hanya mendengar fakta sains, tentu fakta penting, namun realita tidak berhenti di sana, realita itu kaya. Cerita, dongeng, sajak yang indah memberi ruang akan makna berlapis yang kelak akan dipahat, dipoles oleh pengalaman.
Realita juga ternyata sangat individual, beda individu akan beda pemaknaan, berarti realita jauh dari dogma, realita dapat dicapai dengan membuka ruang pada tiap pertanyaan yang hadir dalam kepala. Pada jawaban "I wonder.." ketika anak bertanya.. Cara terbaik adalah dengan bersabar untuk hidup dengan pertanyaan itu, mengujinya sendiri, dan menemukan jawaban dan pemahaman yang kokoh.
Kemudahan berarti Membebaskan
Perjalanan panjang di cerita ini bukan untuk melawan teknologi, apalagi menyalahkannya.
Teknologi, dalam banyak bentuk dibuat oleh manusia selain untuk membuat hidup lebih mudah, juga untuk memangkas waktu agar banyak pekerjaan lain bisa dikerjakan. Meminjam kata Kak Bogi seseorang dosen Fisika, yang kira-kira begini perumpamaannya.. Kalau jaman dulu untuk pergi ke suatu tempat butuh dua hari pake kapal, sekarang bisa dua jam naik pesawat. Maka kita punya kebebasan extra dari durasi tersebut.. (semoga ngga salah nangkep ni hehe)
Nah, kebebasan ini dikembalikan lagi ke manusianya, mau digunakan untuk apa.
Ketika kita punya sosial media sebagai corong siaran berita ke sekeliling kita, maka informasinya kita gunakan untuk apa? Ketika kita punya kesempatan untuk memoles dan menampilkan diri sedemikian rupa, apakah sudah jujur pada diri sendiri..
Its all about intention.
Ketika banyak pekerjaan dibantu oleh teknologi, maka digunakan untuk apakah extra waktu dan tenaga kita?
Sungguh sebuah refleksi yang penting untuk ditanyakan ke diri sendiri.
Apapun itu, semoga yang kita kerjakan mengupayakan untuk kebaikan.
Terima kasih untuk me time di #zoomatan-nya @arunikawaldorf.
Catatan ini dibuat oleh Nanda Indriana. Selebihnya bisa lihat juga di
https://indriananda.blogspot.com/2020/05/the-presence-of-our-children-in-social.html?m=1
0 Response to "Media Sosial, Realitas, dan Anak "
Post a Comment